Foto Ilustrasi Googel.


Dina Arsita, Magister Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta 

Suaramuda.com - Di era digital saat ini, akses informasi kesehatan telah mengalami revolusi besar melalui internet. “Mbah Google” kerap diandalkan sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan, terutama mengenai kesehatan. Fenomena Mbah Google sebagai dokter gadungan di internet semakin mengkhawatirkan, menurut survei Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Katadata Insight Center (KIC) (2021), menyebutkan bahwa sebanyak 71% masyarakat Indonesia belum pernah menggunakan layanan kesehatan resmi secara online, seperti BPJS, Halodoc, atau WA Puskesmas. Akibatnya, banyak yang mengandalkan informasi kesehatan dari sumber yang belum tentu benar, bahkan bisa menyesatkan. Kebiasaan ini seringkali memicu kecemasan berlebih terhadap kondisi tubuh sendiri, yang dalam dunia psikologi dikenal sebagai cyberchondria. 

Cyberchondria adalah kondisi ketika seseorang terlalu sering mencari informasi kesehatan di internet, lalu justru merasa makin cemas, takut, atau bahkan yakin dirinya sakit parah. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 66,6% remaja di Kota Pekanbaru mengalami cyberchondria tingkat sedang (Fitri et al., 2024). Hal ini menunjukkan bahwa banyak remaja yang mulai terbiasa mencari informasi kesehatan secara mandiri melalui internet, namun sayangnya belum disertai dengan kemampuan menyaring informasi yang akurat dan terpercaya.

Dari sudut pandang psikologi kesehatan, kebiasaan mencari informasi kesehatan secara berlebihan di internet merupakan cara yang keliru dalam mengatasi stres. Ketika merasa tidak enak badan, banyak orang langsung mencari jawaban di internet untuk menenangkan diri. Namun, bukannya merasa lega, mereka justru semakin cemas karena hanya percaya pada informasi yang sesuai dengan ketakutannya meskipun belum tentu benar. Akibatnya, muncul risiko meningkatnya stres serta ketakutan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui Health Belief Model (HBM), yang menyatakan bahwa perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap risiko (perceived susceptibility), keparahan suatu penyakit (perceived severity), manfaat (perceived benefits), hambatan (perceived barriers), isyarat yang memicu tindakan (cues to action), dan efikasi diri (self-efficacy) dalam mengambil tindakan. 

Saat seseorang merasa sangat rentan terhadap penyakit dan menganggap konsekuensinya serius, mereka cenderung mencari informasi sebanyak mungkin untuk merasa aman. Sayangnya, jika informasi tersebut tidak valid, pencarian ini justru memperparah kecemasan kesehatan. Di sinilah peran “Mbah Google” sebagai dokter gadungan muncul, menyediakan informasi yang tidak terfilter secara ilmiah, malah memperkuat lingkaran kecemasan penggunanya (Nadeem et al., 2022). Pandangan dari Health Belief Model (HBM) juga mengungkap bahwa “cues to action” atau isyarat yang memicu tindakan, seperti pemberitaan media seputar wabah penyakit, dapat meningkatkan intensitas pencarian informasi kesehatan daring. Dalam situasi seperti pandemi atau krisis kesehatan, individu dengan tingkat health anxiety yang tinggi akan merasa semakin terdorong untuk mengakses informasi melalui internet meskipun sering kali tidak akurat (Lagoe & Atkin, 2015). Selain itu, manfaat mencari informasi melalui Google, yakni mendapatkan jawaban cepat atau merasa lebih siap menghadapi gejala yang muncul dapat menutupi hambatan-hambatan yang ada, seperti potensi peningkatan kecemasan akibat informasi yang kontradiktif (Starcevic et al., 2020). Akibatnya, pengguna terperangkap dalam pola pikir yang menekankan pencarian informasi tanpa jeda, yang pada gilirannya memperkuat kekhawatiran yang berkaitan dengan kesehatan (Marino et al., 2020).

Dalam upaya mengatasi fenomena ini, peningkatan literasi kesehatan digital menjadi suatu kebutuhan mendesak. Pemahaman tentang cara menyaring dan memverifikasi informasi kesehatan harus ditingkatkan melalui pendidikan yang terintegrasi, sehingga masyarakat dapat mengurangi ketergantungan pada informasi yang tidak terverifikasi. Selain itu, intervensi psikologis, seperti terapi kognitif-perilaku, dapat membantu mengoreksi distorsi kognitif yang muncul akibat pencarian informasi berlebihan tersebut. Pendekatan berbasis Health Belief Model (HBM) dapat dijadikan kerangka bagi praktisi kesehatan untuk mengedukasi masyarakat, serta memberikan panduan dalam mengelola kecemasan melalui sumber-sumber informasi yang lebih tepat dan terpercaya. 

Secara keseluruhan, fenomena cyberchondria dan peran Health Belief Model (HBM) dalam psikologi kesehatan memberikan gambaran kompleks mengenai bagaimana informasi digital dapat menjadi pedang bermata dua. Sementara informasi daring memungkinkan akses cepat terhadap jawaban kesehatan, tanpa verifikasi dan dukungan literasi kesehatan yang memadai, perilaku ini justru dapat mewujudkan “Mbah Google” sebagai dokter gadungan yang mengirimkan informasi yang memicu kecemasan. Oleh karena itu, kolaborasi antara ahli kesehatan, pendidik, dan pengembang teknologi diperlukan untuk mengarahkan masyarakat pada penggunaan informasi digital yang lebih sehat dan berbasis evidensi, mengurangi dampak negatif pada kesehatan mental serta meningkatkan kesadaran kritis terhadap informasi daring. Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan Google karena ia hanyalah alat. Namun, penting untuk diingat bahwa informasi bukanlah pengetahuan, dan kepanikan bukanlah jalan keluar. Saat tubuh terasa sakit, solusi terbaik adalah berkonsultasi dengan tenaga medis. Jangan biarkan “Mbah Google” menjadi dokter gadungan yang justru menambah cemas tanpa memberi penyembuhan.