Penulis : Annisa Tri Wulan Sari
Universitas Muhammadiyah Malang
Psikologi

Suaramuda.com - Fenomena trauma sering kali dialami oleh kebanyakan orang karena pada hakikatnya kehidupan seseorang tidak pernah luput dari suatu masalah. Tidak semua masalah selalu merujuk ke arah trauma dan tidak sedikit pula masalah yang dihadapi seseorang dapat menimbulkan trauma. Trauma adalah rasa sakit emosional dan jiwa yang berkepanjangan yang disebabkan oleh pengalaman menyedihkan dan menyakitkan. Suatu kondisi dimana kondisi psikologis seseorang terganggu yang diakibatkan oleh suatu peristiwa traumatik. Menurut penelitian Van Der Kolk dan rekan (2014) menyatakan bahwa trauma dapat menyebabkan disfungsi dalam banyak aspek kehidupan termasuk rasa keputusasaan, kesulitan dalam mengambil keputusan dan kecenderungan menghindari sesuatu atau situasi yang akan mengingatkannya pada peristiwa traumatis. Salah satu dampak yang muncul akibat pengalaman traumatis adalah menurunnya tingkat kepercayaan diri seseorang, selalu menganggap dirinya kurang dalam hal apapun entah itu dari aspek fisik, kemampuan dan usahanya. Semua ini tertuang dalam satu kalimat yang sering kali terucap dan selalu tertanam dalam benak seseorang yang mengalami trauma, yaitu pertanyaan ‘aku kurang apa?.

‘aku kurang apa?’  terdengar cukup menyakitkan bagi setiap orang yang pernah berada di posisi itu. Kegagalan yang sering kali terjadi dan tidak sedikit pula usaha yang sering kali di sepelekan oleh beberapa pihak membuat seseorang merasa putus asa dan merasa tidak berguna. Dan itu sangat memberikan dampak pada kondisi psikologis apabila itu tidak terjadi hanya satu atau dua kali. Bahkan ribuan dukungan semangat pun hanya terdengar seperti hembusan angin lewat saja. Tidak hanya kegagalan, sebagian besar trauma juga disebabkan oleh beberapa hal seperti pelecehan, kekerasan, bullying, serta kejadian yang mengerikan seperti kecelakaan atau bencana alam serta kehilangan orang yang mendalam. Satu kejadian saja apabila terjadi secara berulang dapat menimbulkan trauma yang sangat mendalam, apalagi pada sebagian orang yang pernah mengalami semua hal itu. Rasanya seperti hidup mati, mati namun tetap hidup.

Trauma emosional sering kali berakar pada pengalaman di masa lalu, seperti kritik yang terus-menerus, pengabaian, atau bahkan pengkhianatan dari orang yang dipercaya. Situasi ini menciptakan luka batin yang terus terbuka setiap kali seseorang menghadapi kegagalan atau penolakan. Pikiran “Aku kurang apa?” muncul sebagai refleksi dari kebutuhan untuk memahami mengapa pengalaman menyakitkan tersebut terus terjadi, meskipun sering kali jawabannya tidak terkait dengan kesalahan diri. Trauma emosional sering kali berakar pada pengalaman di masa lalu, seperti kritik yang terus-menerus, pengabaian, atau bahkan pengkhianatan dari orang yang dipercaya. Situasi ini menciptakan luka batin yang terus terbuka setiap kali seseorang menghadapi kegagalan atau penolakan. Pikiran “Aku kurang apa?” muncul sebagai refleksi dari kebutuhan untuk memahami mengapa pengalaman menyakitkan tersebut terus terjadi, meskipun sering kali jawabannya tidak terkait dengan kesalahan diri.

Dalam menjalani hidup keseharian dan bersosial, seseorang yang mengalami trauma menjadi dua. Ada yang setengah mati menahan traumanya sendiri agar terlihat baik-baik saja, dan ada pula yang kehilangan sebagian semangat hidupnya yang membuat dirinya terlihat sedang tidak baik-baik saja. Namun keduanya sama-sama hebat karena memilih untuk tetap hidup, berusaha bertahan dan mencari jalan untuk kesembuhannya.

Karena faktanya, banyak orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri karena merasa tidak tahan dan merasa tertekan atas masalah yang selalu menimpanya. Namun tidak sedikit pula orang yang berusaha untuk bertahan untuk bertahan melakukan hal-hal yang dilakukannya untuk melampiaskan sakitnya seperti self harm, memukul kepala dan badannya sendiri, merusak rambut, menghamburkan barang dan lain-lain. Oleh karena itu seseorang yang sedang mengalami hal tersebut harus membutuhkan dampingan dan pengawasan dari orang terdekat, seperti teman, sahabat, pasangan, orang tua atau lembaga yang terpercaya seperti psikiater. Melakukan hal-hal yang menyenangkan dan makan makanan yang enak. Fase paling berat pada saat mengalami trauma adalah susah dalam menjalani aktivitas keseharian. Bahkan sekedar melihat dunia dan menapakkan kaki ke bumi saja rasanya kesadaran hanya seperti bayang-bayang.

Namun alangkah baiknya, apabila sedang berada di fase ini cukup mengandalkan orang yang atau lembaga yang terpercaya saja seperti psikiater atau sebagainya. Karena apabila kita hanya terpaku dengan perlindungan dari teman, sahabat, orang tua apalagi pasangan saja itu tidak disarankan sepenuhnya kepercayaan kita berikan. Karena manusia tetaplah manusia. Manusia kapan saja bisa berubah, entah itu pikiran atau perlakuan. Fokuslah membenahi diri sendiri. Jauhkan diri dari apa yang akan menimbulkan hal yang tidak nyaman. Makan makanan yang enak dan pergi ke tempat yang menyenangkan. Melakukan hal-hal yang seru. Dan jauhkan diri dari suasana sedih seperti mendengarkan lagu sedih, membaca atau menonton cerita sedih. Fokus mendengarkan dan melakukan hal-hal yang dapat kembali membangkitkan semangat.

Untuk keluar dari pola ini, penting bagi individu untuk mengembangkan kesadaran diri dan memisahkan nilai diri dari pencapaian atau pengakuan eksternal. Mencari dukungan profesional melalui terapi atau konseling juga bisa membantu memproses trauma dan membangun pola pikir yang lebih sehat. Pemulihan adalah proses, dan menyadari bahwa diri kita sudah cukup adalah kunci awalnya. Jangan pernah sekalipun menjadikan satu orang atau pasangan yang bukan tugasnya selain psikiater sebagai tempat bersandar atau ‘rumah’ untuk meluapkan segala bentuk cerita, keluh kesah, kesedihan atau masalah apa pun yang sedang dihadapi. Terkadang, orang yang kita sayang dan menyayangi kita saat ini suatu saat akan menjadi luka besar untuk kita dan pergi meninggalkan trauma yang besar tanpa maaf dan perasaan bersalah sedikit pun. Nikmati sakitmu, dan percayalah semua ini pasti berlalu.