Penulis : Naifa Az Zahra Anwar
Fakultas/Jurusan : Program Pendidikan Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
Suaramuda.com - Fenomena toxic parenting sudah menjadi siklus rantai di Indonesia. Masyarakat Indonesia seperti sudah menormalisasikan fenomena tersebut. Padahal dampak dari toxic parenting sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak, terutama terhadap psikologisnya. Toxic parenting biasanya ditandai dengan kekerasan fisik dan verbal. Orang tua pada pola pengasuhan ini selalu memaksakan keinginannya agar selalu dituruti oleh anak, tanpa memikirkan perasaan serta kurang menghargai pendapat anak. Artikel ini akan membahas mengenai pengertian, dampak, ciri-ciri, faktor, dan solusi dari toxic parenting sebagai edukasi dan meningkatkan kesadaran mengenai permasalahan toxic parenting.
Dalam pesatnya kemajuan teknologi serta terbukanya pola pikir mengenai kesehatan, terutama kesehatan mental di Indonesia pada kalangan gen-Z, toxic parenting menjadi salah satu pembahasan yang banyak dibicarakan karena memiliki dampak yang serius. Adapun toxic parenting dapat diartikan, toxic ’beracun’, parenting ’pengasuhan’, atau pengasuhan beracun adalah pemberian pola asuh tidak tepat yang menimbulkan dampak negatif bagi anak.
Dampak ini mengakibatkan terganggunya proses pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai usianya, seperti aspek kognitif, fisik, motorik, seni, moral, dan perkembangan sosio-emosional, meliputi gangguan kecemasan, sulit bersosialisasi, citra diri yang rendah, bersikap tidak konsisten, kesulitan berempati dan memberikan kasih sayang, stres, depresi, sampai yang terparah yaitu, bunuh diri. Salah satu dampak yang juga paling mengkhawatirkan adalah terbentuknya rantai toxic parenting antar generasi.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan pola asuh ini, beresiko besar untuk mengulangi pengasuhan yang sama ketika menjadi orang tua. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki contoh pola asuh mana yang sehat dan mungkin tidak menyadari bahwa pola asuh mereka bermasalah.
Pelaku serta korban umumnya tidak mengetahui bahwa mereka sedang melakukan dan mengalami toxic parenting, orang tua dengan pola pengasuhan ini sering kali tanpa sadar melakukan tindakan atau ucapan yang menyakiti anak, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga perlu diketahui ciri-cirinya. Adapun bentuk dan ciri-ciri dari toxic parenting meliputi, tidak adanya dukungan emosional, sering mengungkit kesalahan anak, sering membentak dan menggunakan kata-kata kasar, sering menyalahkan anak, pengendalian berlebihan tanpa memikirkan hak anak, tidak menghargai batasan privasi, memukul, dan lainnya. Anak yang mengalami toxic parenting bukan hanya memberikan dampak kepada fisik serta psikologis, tetapi akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya. Pada aspek sosial, anak akan tumbuh menjadi seseorang yang menutup diri dari lingkungan karena kurangnya rasa percaya diri serta memiliki citra diri yang rendah, dan jika hal ini terus berlanjut anak akan kesulitan menjalin hubungan yang sehat di masa dewasa.
Orang tua memiliki tanggung jawab pada kehidupan anak sejak dini. Namun, kenyataannya tidak semua orang tua mampu melakukan tugas tersebut. Banyak orang tua yang bisa menjadi orang tua, tetapi belum bisa memenuhi peran mereka. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya kasus ketika fisik orang tua itu ada, tetapi peran emosional tidak ada. Latar belakang dan pengalaman orang tua yang juga merupakan korban dari toxic parenting menjadi faktor penyebab paling besar terjadinya toxic parenting. Pendidikan, ekonomi, serta kesehatan mental juga mempengaruhi perilaku orang tua untuk melakukan tindakan, tetapi dari semua faktor tersebut tidak bisa menjadikan alasan untuk membenarkan pola asuh ini dengan melampiaskannya pada anak dan menjadikan hal tersebut siklus rantai di Indonesia.
Orang tua yang melakukan toxic parenting biasanya mengatasnamakan disiplin untuk mendidik anak dengan alasan ’demi kebaikan anak’. Niat baik ini akan akan salah ketika dilakukan dengan cara yang tidak benar. Tanpa disadari mereka menggunakan didikan yang salah untuk mendapatkan kepatuhan anak tersebut. Dibanding melakukan hentakan, menyalahkan, mengkritik, dan memukul pada saat anak melakukan kesalahan, orang tua sebaiknya memberikan pengertian, peringatan, masukkan, serta dukungan agar tetap mendapatkan disiplin yang mereka inginkan, tetapi tetap menghindari segala bentuk dari toxic parenting.
Tindakan yang bisa dilakukan orang tua untuk menghindari segala bentuk dari toxic parenting adalah dengan mengetahui berbagai pola pengasuhan yang sehat dan membuka komunikasi keluarga, sebagai upaya untuk memahami keinginan masing-masing dan membangun hubungan berdasarkan rasa saling menghormati. Orang tua tidak harus terpaku pada satu pola pengasuhan, tetapi memadukan segala bentuk pola pengasuhan atau bahkan membuat pola pengasuhan sendiri, karena setiap anak memiliki perilaku serta kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu diperlukannya komunikasi keluarga, terutama terhadap anak agar mereka dapat memahami satu sama lain. Upaya yang bisa dilakukan untuk memutus rantai toxic parenting adalah dengan menyembuhkan luka inner child korban dengan dukungan emosional. Pentingnya mencari bantuan profesional seperti terapi keluarga, psikolog, dan lainnya, juga bisa dilakukan untuk memutus rantai tersebut. Calon orang tua perlu membekali dirinya dengan berbagai pengetahuan agar lebih memantapkan kesiapannya dalam menjalankan tugas untuk menjadi rumah bagi anak, sebab jika rumah pertama anak saja sudah rusak, bagaimana dengan rumah dan kehidupan anak selanjutnya. Seandainya orang tua dapat menerapkan pola asuh sehat, anak akan tumbuh menjadi seseorang yang pertumbuhan serta perkembangannya optimal disertai oleh dekatnya anak dengan orang tua, sebab pengasuhan adalah tanggung jawab besar yang mempengaruhi masa depan seorang anak. Orang tua perlu menyadari bahwa setiap tindakan dan kata-kata mereka memiliki kekuatan yang besar untuk membentuk kehidupan anak di masa depan.