Penulis : Najwa Ramadhani
Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
Suaramuda.com - Penyakit mental adalah gangguan yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Gangguan ini bisa berupa depresi, kecemasan, skizofrenia, atau gangguan bipolar, yang semuanya memiliki dampak signifikan terhadap kualitas hidup penderitanya. Namun, masalah yang lebih kompleks sering kali muncul bukan hanya terkait dengan gangguan itu sendiri, tetapi juga dengan stigma sosial yang melekat pada mereka yang mengalaminya. Stigma ini, sering kali didorong oleh ekspektasi sosial, berperan besar dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap individu dengan gangguan mental, bahkan mempengaruhi proses diagnosis itu sendiri.
Ekspektasi sosial sering kali membentuk definisi tentang "normalitas”. Di banyak budaya, ada tekanan yang kuat untuk berperilaku atau berfungsi dengan cara yang dianggap sesuai dengan standar sosial yang ditetapkan. Misalnya, dalam dunia kerja, seseorang diharapkan selalu produktif, memiliki kendali penuh atas emosinya, dan mampu mengatasi stres tanpa masalah. Ketika seseorang gagal memenuhi ekspektasi ini, sering kali dianggap sebagai "lemah" atau "tidak mampu mengatasi kehidupan", meskipun mereka mungkin sedang berjuang dengan gangguan mental.
Tentu saja, ini menciptakan kesalahpahaman dan memicu stigma terhadap individu yang mengalami gangguan mental. Sebagai contoh, seseorang yang menunjukkan tanda-tanda depresi sering kali dianggap hanya "kurang motivasi" atau "sedang malas", sementara kecemasan sering disalahartikan sebagai "ketidakmampuan untuk mengatasi tekanan". Ketidaktahuan semacam ini mengarah pada pengabaian terhadap kondisi yang lebih dalam, di mana individu justru diabaikan atau bahkan dicap sebagai "tidak normal".
Stigma ini juga mempengaruhi proses diagnosis dalam bidang psikologi dan psikiatri. Dalam beberapa kasus, ada kecenderungan untuk meremehkan kondisi yang dihadapi oleh pasien, atau bahkan menganggap mereka hanya membutuhkan "dorongan moral" atau "motivasi lebih" daripada pengobatan yang sesungguhnya. Sebagai contoh, depresi sering kali dianggap sebagai "perasaan sedih" yang bisa hilang dengan usaha pribadi, sementara sebenarnya, itu adalah gangguan kompleks yang melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosial.
Selain itu, ekspektasi sosial sering kali membentuk pandangan tentang siapa yang "layak" di diagnosis dengan gangguan mental. Dalam beberapa kasus, individu yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah atau mereka yang menunjukkan perilaku yang lebih ekstrem dalam mengungkapkan kesulitan emosional, mungkin lebih cepat didiagnosis atau bahkan dijauhi sebagai "gila". Di sisi lain, individu dari kelas sosial yang lebih tinggi atau yang lebih mampu beradaptasi dengan norma sosial mungkin diabaikan, meskipun mereka juga mengalami kesulitan mental yang serupa.
Dampak dari stigma ini sangat nyata. Banyak individu yang membutuhkan bantuan psikologis justru enggan untuk mencari perawatan karena takut dicap sebagai "gila" atau "tidak normal". Rasa malu atau takut dianggap lemah menghalangi mereka untuk berbicara terbuka tentang masalah mereka atau mencari terapi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperburuk kondisi mental mereka, yang pada akhirnya memperparah beban psikologis yang mereka rasakan.
Contoh nyata adalah pada kasus skizofrenia, sebuah gangguan mental yang sering kali dikaitkan dengan perilaku kekerasan atau ketidakmampuan untuk berfungsi di masyarakat. Masyarakat yang terpengaruh oleh stereotip semacam ini cenderung mengisolasi individu dengan skizofrenia, mengabaikan mereka, atau bahkan menghindari untuk memberikan dukungan sosial yang sangat dibutuhkan. Ini tentu saja sangat merugikan pasien, yang semakin merasa terpinggirkan dan terputus dari jaringan sosial mereka.
Meskipun telah ada upaya untuk meningkatkan pemahaman tentang gangguan mental, stigma terhadap mereka yang mengalaminya tetap menjadi masalah besar. Pengaruh ekspektasi sosial dalam diagnosis psikologis sangat nyata, dan hal ini mempengaruhi bagaimana kita memandang dan merawat individu dengan gangguan mental. Pengobatan yang lebih berbasis pada pemahaman holistik terhadap kondisi seseorang, termasuk latar belakang sosial dan budaya mereka, sangat penting untuk menghindari kesalahan diagnosis atau perawatan yang tidak tepat.
Diagnosis yang lebih baik tidak hanya mempertimbangkan gejala medis semata, tetapi juga mengakui bahwa gangguan mental sering kali merupakan respons terhadap tekanan sosial dan budaya yang tidak realistis. Oleh karena itu, kita perlu mendobrak konsep-konsep yang mengekang dan membangun pemahaman yang lebih inklusif tentang kesehatan mental.
Untuk mengatasi stigma ini, edukasi masyarakat menjadi kunci. Kampanye untuk mengedukasi masyarakat tentang kesehatan mental, menghilangkan stereotip yang salah, dan memberikan pengetahuan yang lebih dalam mengenai penyebab serta pengobatan gangguan mental harus menjadi prioritas. Selain itu, kita harus mendukung sistem layanan kesehatan mental yang lebih mudah diakses dan lebih ramah bagi mereka yang membutuhkan. Para profesional psikologi dan psikiatri juga harus berperan dalam membantu masyarakat untuk lebih memahami dan menerima gangguan mental tanpa prasangka.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa gangguan mental adalah kondisi medis, bukan hasil dari kelemahan pribadi atau kegagalan sosial. Menghapus stigma ini berarti menciptakan ruang yang lebih aman bagi mereka yang membutuhkan bantuan, tanpa rasa takut atau malu. Untuk itu, kita harus mulai melihat individu dengan gangguan mental dengan lebih empati, menerima perbedaan, dan memberikan dukungan yang mereka butuhkan untuk sembuh.
Stigma dalam diagnosis psikologis bukan hanya merugikan bagi individu yang mengalaminya, tetapi juga menciptakan distorsi dalam cara kita memahami dan merawat gangguan mental. Ekspektasi sosial yang tidak realistis dan stereotip yang ada di masyarakat menghalangi kita untuk melihat gangguan mental secara objektif dan mendalam. Oleh karena itu, untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan mendukung, kita perlu merombak cara kita memandang kesehatan mental, mengurangi stigma, dan memberikan perawatan yang lebih baik bagi mereka yang membutuhkan.