Penulis  : Jesicha Putri Prasetya
Fakultas : Psikologi
Universitas : Universitas Muahmmadiyah Malang

Suaramuda.com - Hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk membangun komunikasi. Apalagi di zaman sekarang, relasi dengan orang lain perlu kita bentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, memiliki kelompok masyarakat sangat penting di sebuah lingkungan. Kelompok masyarakat tidak hanya bisa dibentuk melalui pertemuan tatap mata namun di era digital ini kita dapat menemukan kelompok masyarakat dari sosial media atau biasa disebut mutualan online. Kelompok masyarakat sering dikenal dengan istilah circle. Circle sendiri artinya lingkaran yang mengisyaratkan bahwa adanya kesatuan dalam kelompok. Biasanya circle terbentuk karena adanya persamaan seperti satu frekuensi, status sosial, dan perasaan senasib. Hal ini sering ditemui pada usia remaja karena usia itulah aktif-aktifnya kita dalam membangun relasi dengan banyak teman.

Rata-rata remaja putri lebih dominan untuk membentuk sebuah circle daripada remaja laki-laki. Mereka memiliki tujuan yang kuat untuk membentuk dan memperkuat identitasnya dengan membentuk circle. Persamaan yang ada dalam kelompok biasanya akan memperkuat hubungan antar individu. Walaupun setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda seringkali mereka akan tetap mengikuti dan menyamakan dirinya seperti orang lain. Kejadian itu disebut dengan konformitas. Konformitas adalah usaha yang dilakukan suatu individu untuk mengikuti standar norma yang berlaku di kelompok masyarakat dengan mengubah perilaku, sikap, dan sifat. Alasan remaja putri bertindak konformitas adalah karena adanya perasaan ingin setara, takut tertinggal dengan teman-teman yang lain, dan perasaan ingin diakui. Faktor yang memicu adanya konformitas adalah besar kecilnya kelompok, keterikatan hubungan, dan mayoritas suara. Semakin besarnya kelompok tersebut maka semakin besar pula kemungkinan konformitas terjadi.

Konformitas yang terjadi pada circle remaja putri seringkali memicu adanya permasalahan lain seperti Fear of Missing Out atau biasa disingkat FOMO. Fear of Missing Out adalah rasa takut tertinggal akan suatu hal yang baru. Perasaan tersebut terjadi karena sumber daya manusia di Indonesia tidak bisa mengontrol keinginan dan kebutuhan. Biasanya seseorang bisa melakukan hal tersebut karena rasa gengsi. Mereka cenderung untuk melihat standar di media sosial sehingga mendorong dirinya untuk mengikuti segala standar baru yang ada. Gejala seorang yang mengalami FOMO adalah sering mengunggah atau memberi makan story media sosial, rela membeli hal yang bukan dari kebutuhan, lebih aware terhadap media sosial daripada kehidupan nyata, sensitif dan selalu mendengar apa kata orang tanpa menyaringnya.

Konformitas memiliki hubungan keterikatan dengan FOMO. Kedua aspek tersebut saling mempengaruhi. FOMO menyebabkan seseorang berperilaku konformitas. Apalagi jika disangkutkan pada masa remaja pada putri. Saat remaja tentu mayoritas dari kita tidak memiliki pendirian dan prinsip yang teguh karena masa itulah peralihan perkembangan dari anak ke dewasa. Dalam konteks ini fase remaja pada wanita memiliki banyak perubahan pada aspek perkembangan yaitu dari segi kognitif dan sosioemosi. Memiliki pikiran yang masih labil dan sedang mencari identitas diri sehingga rawan melakukan tindakan mengikuti. Serta emosi pada remaja putri yang belum stabil karena belum memiliki kontrol diri yang baik. Kasus yang sering terjadi seperti adanya seorang remaja putri yang memiliki ekonomi menengah berteman dengan sekelompok teman yang ekonominya tinggi, melihat hal tersebut membuat seorang remaja gengsi dan akhirnya mengikuti gaya hidup hedon. Terbukti nyata bahwa remaja tersebut sedang mengalami FOMO karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologi tentang relatedness dan self, kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan perasaan untuk bergabung dengan individu lain dan keinginan untuk efektif dalam interaksi lingkungan.

Setiap penyebab tentu memiliki akibat. Kedua aspek terikat itu memiliki dampak buruk yang dapat membahayakan fisik dan juga mental remaja putri jika dilakukan terus menerus. Dampak buruk tersebut yaitu remaja dapat terlepas dari diri aslinya karena ia kehilangan jati diri, kesehatan mental juga terganggu karena dia akan terus-menerus tertekan jika dilakukan tanpa adanya kontrol, dan jika mental sudah terserang kesehatan fisik juga akan terserang. Seorang remaja akan mengalami sakit karena tubuh dan hatinya lelah. Remaja putri yang sampai di tahap stress juga akan melakukan hal-hal gila seperti self harm karena pada dasarnya wanita lebih mementingkan perasaan hingga ia akan lebih mudah stress daripada lelaki. Di Indonesia sampai pernah ada kasus tentang seorang anak yang mogok makan dan tuntut ibunya yang pas-pasan membelikan iphone. Anak tersebut berperilaku konsumtif dan tentu apa yang ia minta tidak hanya serta merta karena ingin, pasti ada alasan lain dibaliknya.

Konformitas dan FOMO juga memiliki dampak positif yaitu jika seorang remaja putri memiliki circle dengan lingkungan yang baik, perilaku ia akan cenderung baik juga. Hal ini relate dengan teori relativitas dari Albert Bandura yang sifatnya resiprokal karena lingkungan, kognitif, dan perilaku saling terkait dan mempengaruhi.
Cara menghindari dampak buruk perlu adanya kontrol diri yang baik. Seseorang perlu memilih lingkungan yang dapat menjadi bagi dirinya. Selain itu memiliki prinsip diri yang teguh juga akan membuat remaja putri menjadi seorang yang berintegritas dan memiliki jati diri sehingga mengetahui segala batasan. Melakukan evaluasi diri dengan meditasi dapat menjadi solusi yang efektif agar remaja putri dapat mengenal dirinya lebih dalam. Jika remaja menghindari konformitas maka dia akan dapat meminimalisir kemungkinan buruk yang ditimbulkan akibat FOMO. Jadi sebenarnya semua hal yang datang pada kita itu diri kita ciptakan sendiri.